Al-Qawaid al-Fikhiyyah
(Kaidah-kaidah Fikih) Fil Iqtishad
Tentang
Kaidah Asasi I (Al-Ummur
Bimaqashidha)
Oleh
:
Kelompok 3
Elawati
1313060280
Dosen
Pembimbing :
H.Ahmad Wira, M.Ag, M.Si, Ph.d
Fauza Rahmad,. SHI, MA
JURUSAN
EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
2016
M/1438 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon
pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan
keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak 0seorang
pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat
memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah ”Al-Qawaid al-Fikhiyyah (Kaidah-kaidah
Fikih) Fil Iqtishad” dalam
pembahsan ini makalah membahas tentang “Kaidah Asasi I (Al-Ummur
Bimaqashidha)”. Yang mana dalam makalh ini pembahasan terkaid dengan
pengertian umuur, maksud maqashaid, makna niat, makana kaedah
dan aplikasi kaidah.Terimakasi kami ucaapan kepada dosen pembimbing yang
telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Padang, 26 Maret 2016
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Al-Qawaid fiqhiyah ( kaidah-kaidah fiqh ) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[1]
Banyak dari kita yang belum mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu Qawaid fiqhiyah. Dalam hal ini pentingnya mata kuliah Al-Qawaid Fiqhiyah (kaidah-kaidah
fiqih) fil Iqtishad bagi mahasiswa terutaama mahasiswa fakultas ekonomi dan
bisnis Islam jurusan ekonomi islam mempelajari materi ini sebagai dasar
penentuan pengambilan keputusan dalan suatu hal yang mana diawali dengan niat.
Maka dari itu pemakalah membahas tentang kaidah-kaidah fiqh
asasi 1 (al-umuur bimaqashidha), mulai dari pengertian, maksud, makna, asal
serta aplikasinya kaidah tersebut.
Adapun Dengan mempelajari
dan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan
menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih modern di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah
mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat. Kaidah al-ummur bimaqashidha ini adalah menegaskan bahwa
setiap amal perbuatan baik yang menyangkut hubungan manusia dengan allah maupun
hubungan dengan sesama manusia. Landasan dari kaidah fikih ini adalah al-qur’an
dan sejumlah hadis.
B.
Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Maksud ummur, muqashid, makna niat dan makna kaedah ?
2. Apa makna dan asal kaedah (dalil) ?
3. Bagaimana aplikasi kaedah ?
4. Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy
la li alfadz wal mabaniy) ?
C.
Rumusan masalah
1. Mengetahui
dan memahami maksud ummur, muqashid, makna niat dan makna kaedah ?
2. Mengetahui
dan memahami Apa makna dan asal kaedah (dalil) ?
3. Mengetahui
dan menerapkan bagaimana aplikasi kaedah ?
4. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Furu’ (al-
ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy) ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Maksud ummur, maksud
muqashid Makna niat
Maksud
kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha
terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid
terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshod.Secara etimologi
lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti
keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru
bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik
ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud
dari pekerjaan yang dilakukan.
Sedangkan maqashid secara
bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi
dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan,
al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu
adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi
sesuatu dan menuju.[2]
Setiap
perkara tergantung pada niatnya, di kalangan mazhab Hanafi ditambah dengan satu
kaidah lagi yaitu: لَاثَوَابَ إِلاّ بِا لنَّيَةِ “tidak ada pahala kecuali dengan niat”.
الُأ مُورُبِمِقَا صِدِهَا
“setiap perkara
tergantung pada niatnya.”
Niat dikalangan
ulam-ulama Syafi’iyah diartikan dengan: bermaksud melakukan sesuatu disertai
dengan pelaksanaannya.
قَصْدُ الشّيِىء مُقْتَرَ نًا بِفِعْلِهِ أَو القَصْدُ
المُقَاِرنُ اِلُفِعْلِ
“Di dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah
maksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.”
Dikalangan mazhab hanbali juga menyatakan bahwa
tempat niat ada di dalam hati, karena
niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati.
Jadi apabila meyakini/beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan
wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa
fungsi niat:
1. Untuk
membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan
2. Untuk
membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
3. Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membbedakan yang
wajib dari yang sunnah.[3]
B.
Makna kaidah
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq
(metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat
26 : [4]
ª!$# OßguZ»uø^ç/ ÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍkön=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÇËÏÈ
Artinya:”Allah akan menghancurkan
rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26).[5]
Kaidah bersifat menyeluruh yang meliputi
bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya
(bagian-bagiannya).[6]
Dalam Fiqh jinayah ada perbutan yang
disengaja dan ada pula perbuatan yang tidak disengaja, misalnya pembunuhan,
pelukan, atau pemukulan. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang dilakuakn
dengan niat. Sedangkan yang tidak disengaja tidak ada niat. Dalam fiqh
muamalah, setiap akad yang diucapkan dengan kata-kata kinayah
(kiasan), maka keabsahannya dikembalikan kepada niat, yaitu apa yang dimaksud
atau diniatkan oleh sipelaku tersebut.[7]
C.
Makna dan asal kaidah (dalil)
Panca kaidah asasiah semula dinamakan kaidah ushul,
yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah
dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid
belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili. Kaidah itu
digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al-Qur’an dan as-Sunnah maupun
dalil-dalil istinbath.[8]
Adapun ayat atau hadits yang menjelaskan kaidah
ini adalah sebagai berikut:
1. Dalil
kaidah ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al- Bukhari dalam “
Shahih Al- Bukhari,” dari Umar Bin Al- Khaththab, dia berkata ketika berada
di atas mimbar, “saya mendengar Rasulullah bersabda, “ sesungguhnya amal
perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang mendapatkan balasan
amalnya sesuia dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan
Rasulnya, maka dia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulnya.
Barang siapa yang berhijrah karena harta yang ingin diperolehnya atau wanita
yang dinikahinya, maka dia akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”[9]
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa
hukum-hukum Syariat Islam dalam semua urusan manusia dan muamalah didasarkan
kepada maksud atau niat ketika melakukannya. Adakalanya seseorang melakukan
suatu amal perbuatan untuk maksud tertentu sehingga berdampak pada hukum
tertentu pula, dan adakalanya dia melakukan amal perbuatan yang sama untuk
maksud lain, sehingga berdampak hukum lain kepada perbuatannya.[10]
2. Q. S Al-
Bayyinah: 5
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm ÇÎÈ
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.”[11]
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk
melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas, dan Lurus
berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
3. Q.S Ali 'Imran ayat: 145
ÆtBur ÷Ìã z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷Ìã z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4 ÇÊÍÎÈ
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. [12]
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberikan
balasan kepada hambanya sesuai dengan maksud dan tujuan hamba tersebut
melaksanakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan
tujuan duniawi, Ia akan membalasinya dengan pahala dunia. Sementara orang yang
melaksanakan suatu perbuatan untuk kepentingan akhiratnya, Allah akan membalas
dengan pahala di akhirat.
D.
Aplikasi kaidah
Adapun aplikasi kaidah adalah sebagai berikut:
a. Orang
yang mengambil anak yang hilang karena tersesat, dan sebagai berikut dianggap
terpecaya (selamat) dan tidak dikenakan dhaman (hukuman) apabila anak
yang diambilnya meninggal bukan karena kesalahannya yang disengaja atau
keteledorannya. Hal ini apabila maksud dari pengambilannya untuk menjaga anak
tersebut dan akan mengembalikan kepada pemiliknya. Adapun jika dia mengambil
anak yang hilang itu karena tujuan untuk memilki, maka dia dianggap mengghashab
jika anak temuannya itu mati atau cacat, sekalipun meninggalnya bukan
karena penganiayaan atau kelalaiannya. Karena, melakukan perbuatan ghashab,
sedangkan orang yang mengghashab secara mutlak dikenakan dhaman
(hukuman) atas apa yang dighashab.
b. Di
antara aplikasi dari kaidah ini atau cabangnya adalah terjadinya jual beli
dengan lafaz fi’il mudhari’ (kata kerja yang sedang berlangsung) dengan
maksud sekarang dan bukan di masa yang akan dating, seperti perkataan penjual
yang mengatakan. “Saya jual kuda saya ini dengan harga ini.” Lalu orang yang
diajak berbicara menjawab, “Saya terima.’’ Akan tetapi apabila kata fi’il
mudhari’ dimaksudkan untuk masa yang akan dating, maka jual beli itu tidak
sah.
E.
Jikalau
pemburu membentangkan jaringan, lalu ada seekor burung yang menggantung
padanya, apabila dia membentangkan jarring itu dengan tangannya dengan tujuan
mengeringkan atau memperbaiki, maka buruan itu yaitu burung itu menjadi milik
orang yang terlebih dahulu mengambilnya. Apabila pemilik jarring membentangkannya
untuk berburu, maka hewan buruan itu menjadi milik pemilik jarring itu. Apabila
diambil oleh orang lain, maka orang itu telah berbuat ghashab, dan
berlaku padanya hukum ghashab. [13]
F.
Maksud Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil
maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy).
Maksud dari Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil
maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy) yaitu yang dijadikan
pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan
redaksinya. Kaidah ini masih tercakup dalam kaidah sebelumnya (perkara-perkara
itu tergantung kepada maksudnya), karena akad termasuk dari perkara-perkara
yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu dianggap termasuk bagian dari
kaidah sebelumnya.
Kami
katakana bahwa akad termasuk perkara yang dilakukan oleh manusia, yang mana
konsekuensi hukum pada perkara-perkara ini adalah maksud dari pelakunya.
Demikian juga dengan hukum pada akad-akad yang hanya berupa lafazh, artinya
konsekuensinya secara mutlak terletak pada makna yang dimungkinkannya. Adapun
hal itu berdampak pada maksud dan makna sebenarnya yang dimaksud oleh dua orang
yang melakukan akad, seperti lafazh-lafazh yang digunakan dalam pernyatan akad,
karena makna yang dimaksud dari lafazh-lafazh yang digunakan adalah makna
sebenarnya yang dimaksud.
Cabang kaidah serta contoh aplikasinya
Pemebrian dengan syarat diganti (dibayar)
termasuk akad bai’ (jual-beli). Apabila ada seoarang berkata kepada
orang lain,”saya beriakan kuda ini dengan ganti seratus dinar.” Lalu pihak yang
lain mengatakan. ”saya terima,” maka akan seperti ini menjadi akan bai’ (jaul-beli),
sekalipun shighatnya dengan lafazh hibah (memberi). [14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
al-umuru bi
maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan
menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan
atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari
pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan maqashid secara
bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi
dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan,
al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu
adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi
sesuatu dan menuju. Niat dikalangan ulam-ulama Syafi’iyah diartikan
dengan: bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.
Kaidah bersifat menyeluruh yang meliputi
bagian-bagiannya dalam Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum
Syariat Islam dalam semua urusan manusia dan muamalah didasarkan kepada maksud
atau niat ketika melakukannya. Adakalanya seseorang melakukan suatu amal
perbuat
B. Saran
Kami selaku
pemakalah dan sekaligus penulis kami menyadari bahwa kesempurnaan
hanyalah milik Allah, oleh karena itu kami sangat mengaharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini agar kami bisa menjadikan
saran tersebut sebagai pedoman dikesempatan mendatang.
Dari makalah pembahasan ini kami dapat
menyarankan pentingnya Niat dalam segala apa yang akan kita lakukan,
karena niat yang baik akan membawa jita kepada balasan yang baik pula begitu
juga dengan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Djazulu, H.A, Kaidah-Kaidah
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Zaidan, Abdul Karim, Al- Wajiz Fi
syarhi al-qawa id al-fiqhiyyah fi Asy-sayri’ah al-islamiyyah, Jakarta:
Al-kautsar, 2008.
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, Dan
Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Usman, H. Muchlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.107
[1] H.A. Djazulu, Kaidah-Kaidah Fiqh,
Jakarta: Prenada Media Group, 2006. hlm. 2
[3]
H.A. Djazuli, Op. cit., hlm. 34
[6]
H.A. Djazuli, Op. cit., hlm. 4
[7]
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum
Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 106
[8]
H. Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.107
[9]
Abdul Karim Zaidan, Al- Wajiz Fi syarhi al-qawa id al-fiqhiyyah fi
Asy-sayri’ah al-islamiyyah, Jakarta: Al-kautsar, 2008, hlm. 8
[10]
Ibid., hlm 9
[13]
Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., hlm. 9-10
[14]
Ibid.,hlm. 14-16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar