Selasa, 19 April 2016

MAKALAH Al-Qawaid al-Fikhiyyah



Al-Qawaid al-Fikhiyyah (Kaidah-kaidah Fikih) Fil Iqtishad

Tentang

Kaidah Asasi I (Al-Ummur Bimaqashidha)

Oleh :
Kelompok 3

Elawati
1313060280


Dosen Pembimbing :
H.Ahmad Wira, M.Ag, M.Si, Ph.d
Fauza Rahmad,. SHI, MA


JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2016 M/1438 H



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak 0seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah ”Al-Qawaid al-Fikhiyyah (Kaidah-kaidah Fikih) Fil Iqtishad” dalam pembahsan ini makalah membahas tentang “Kaidah Asasi I (Al-Ummur Bimaqashidha)”. Yang mana dalam makalh ini pembahasan terkaid dengan pengertian umuur, maksud maqashaid, makna niat, makana kaedah dan aplikasi kaidah.Terimakasi kami ucaapan kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Padang, 26 Maret 2016

Pemakalah






 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qawaid fiqhiyah ( kaidah-kaidah fiqh ) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[1] Banyak dari kita yang belum mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaid fiqhiyah. Dalam hal ini pentingnya mata kuliah Al-Qawaid Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) fil Iqtishad bagi mahasiswa terutaama mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis Islam jurusan ekonomi islam mempelajari materi ini sebagai dasar penentuan pengambilan keputusan dalan suatu hal yang mana diawali dengan niat.
Maka dari itu pemakalah membahas tentang kaidah-kaidah fiqh asasi 1 (al-umuur bimaqashidha), mulai dari pengertian, maksud, makna, asal serta aplikasinya kaidah tersebut.
Adapun Dengan mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih modern di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Kaidah al-ummur bimaqashidha ini adalah menegaskan bahwa setiap amal perbuatan baik yang menyangkut hubungan manusia dengan allah maupun hubungan dengan sesama manusia. Landasan dari kaidah fikih ini adalah al-qur’an dan sejumlah hadis.


B.     Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Maksud ummur, muqashid,  makna niat dan makna kaedah ?
2.      Apa makna dan asal kaedah (dalil) ?
3.      Bagaimana aplikasi kaedah ?
4.      Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy) ?
C.    Rumusan masalah
1.      Mengetahui dan memahami maksud ummur, muqashid,  makna niat dan makna kaedah ?
2.      Mengetahui dan memahami Apa makna dan asal kaedah (dalil) ?
3.      Mengetahui dan menerapkan bagaimana aplikasi kaedah ?
4.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy) ?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Maksud ummur, maksud muqashid Makna niat
Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshod.Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju.[2]
Setiap perkara tergantung pada niatnya, di kalangan mazhab Hanafi ditambah dengan satu kaidah lagi yaitu: لَاثَوَابَ إِلاّ بِا لنَّيَةِtidak ada pahala kecuali dengan niat”.
الُأ مُورُبِمِقَا صِدِهَا

setiap perkara tergantung pada niatnya.”
Niat dikalangan ulam-ulama Syafi’iyah diartikan dengan: bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.

قَصْدُ الشّيِىء مُقْتَرَ نًا بِفِعْلِهِ أَو القَصْدُ المُقَاِرنُ اِلُفِعْلِ
“Di dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah maksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.”
Dikalangan mazhab hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena  niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat:
1.    Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan
2.    Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
3.    Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membbedakan yang wajib dari yang sunnah.[3]

B.     Makna kaidah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 : [4]
ª!$# OßguZ»uŠø^ç/ šÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍköŽn=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÇËÏÈ  
Artinya:”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26).[5]
Kaidah bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).[6]  
Dalam Fiqh jinayah ada perbutan yang disengaja dan ada pula perbuatan yang tidak disengaja, misalnya pembunuhan, pelukan, atau pemukulan. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang dilakuakn dengan niat. Sedangkan yang tidak disengaja tidak ada niat. Dalam fiqh muamalah, setiap akad yang diucapkan dengan kata-kata kinayah (kiasan), maka keabsahannya dikembalikan kepada niat, yaitu apa yang dimaksud atau diniatkan oleh sipelaku tersebut.[7]

C.    Makna dan asal kaidah (dalil)
Panca kaidah asasiah semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili. Kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath.[8]
Adapun ayat atau hadits yang menjelaskan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1.      Dalil kaidah ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al- Bukhari dalam “ Shahih Al- Bukhari,” dari Umar Bin Al- Khaththab, dia berkata ketika berada di atas mimbar, “saya mendengar Rasulullah bersabda, “ sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang mendapatkan balasan amalnya sesuia dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, maka dia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulnya. Barang siapa yang berhijrah karena harta yang ingin diperolehnya atau wanita yang dinikahinya, maka dia akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”[9]
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum Syariat Islam dalam semua urusan manusia dan muamalah didasarkan kepada maksud atau niat ketika melakukannya. Adakalanya seseorang melakukan suatu amal perbuatan untuk maksud tertentu sehingga berdampak pada hukum tertentu pula, dan adakalanya dia melakukan amal perbuatan yang sama untuk maksud lain, sehingga berdampak hukum lain kepada perbuatannya.[10]
2.      Q. S Al- Bayyinah: 5
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm  ÇÎÈ  
 Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”[11]
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas, dan Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
3.      Q.S Ali 'Imran ayat: 145
 ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4  ÇÊÍÎÈ  
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. [12]
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberikan balasan kepada hambanya sesuai dengan maksud dan tujuan hamba tersebut melaksanakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan tujuan duniawi, Ia akan membalasinya dengan pahala dunia. Sementara orang yang melaksanakan suatu perbuatan untuk kepentingan akhiratnya, Allah akan membalas dengan pahala di akhirat.
D.    Aplikasi kaidah
Adapun aplikasi kaidah adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang mengambil anak yang hilang karena tersesat, dan sebagai berikut dianggap terpecaya (selamat) dan tidak dikenakan dhaman (hukuman) apabila anak yang diambilnya meninggal bukan karena kesalahannya yang disengaja atau keteledorannya. Hal ini apabila maksud dari pengambilannya untuk menjaga anak tersebut dan akan mengembalikan kepada pemiliknya. Adapun jika dia mengambil anak yang hilang itu karena tujuan untuk memilki, maka dia dianggap mengghashab jika anak temuannya itu mati atau cacat, sekalipun meninggalnya bukan karena penganiayaan atau kelalaiannya. Karena, melakukan perbuatan ghashab, sedangkan orang yang mengghashab secara mutlak dikenakan dhaman (hukuman) atas apa yang dighashab.
b.      Di antara aplikasi dari kaidah ini atau cabangnya adalah terjadinya jual beli dengan lafaz fi’il mudhari’ (kata kerja yang sedang berlangsung) dengan maksud sekarang dan bukan di masa yang akan dating, seperti perkataan penjual yang mengatakan. “Saya jual kuda saya ini dengan harga ini.” Lalu orang yang diajak berbicara menjawab, “Saya terima.’’ Akan tetapi apabila kata fi’il mudhari’ dimaksudkan untuk masa yang akan dating, maka jual beli itu tidak sah.
E.     Jikalau pemburu membentangkan jaringan, lalu ada seekor burung yang menggantung padanya, apabila dia membentangkan jarring itu dengan tangannya dengan tujuan mengeringkan atau memperbaiki, maka buruan itu yaitu burung itu menjadi milik orang yang terlebih dahulu mengambilnya. Apabila pemilik jarring membentangkannya untuk berburu, maka hewan buruan itu menjadi milik pemilik jarring itu. Apabila diambil oleh orang lain, maka orang itu telah berbuat ghashab, dan berlaku padanya hukum ghashab. [13]

F.     Maksud Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy).
Maksud dari Furu’ (al- ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’aniy la li alfadz wal mabaniy) yaitu yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan redaksinya. Kaidah ini masih tercakup dalam kaidah sebelumnya (perkara-perkara itu tergantung kepada maksudnya), karena akad termasuk dari perkara-perkara yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu dianggap termasuk bagian dari kaidah sebelumnya.
 Kami katakana bahwa akad termasuk perkara yang dilakukan oleh manusia, yang mana konsekuensi hukum pada perkara-perkara ini adalah maksud dari pelakunya. Demikian juga dengan hukum pada akad-akad yang hanya berupa lafazh, artinya konsekuensinya secara mutlak terletak pada makna yang dimungkinkannya. Adapun hal itu berdampak pada maksud dan makna sebenarnya yang dimaksud oleh dua orang yang melakukan akad, seperti lafazh-lafazh yang digunakan dalam pernyatan akad, karena makna yang dimaksud dari lafazh-lafazh yang digunakan adalah makna sebenarnya yang dimaksud.
Cabang kaidah serta contoh aplikasinya
Pemebrian dengan syarat diganti (dibayar) termasuk akad bai’ (jual-beli). Apabila ada seoarang berkata kepada orang lain,”saya beriakan kuda ini dengan ganti seratus dinar.” Lalu pihak yang lain mengatakan. ”saya terima,” maka akan seperti ini menjadi akan bai’ (jaul-beli), sekalipun shighatnya dengan lafazh hibah (memberi). [14]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju. Niat dikalangan ulam-ulama Syafi’iyah diartikan dengan: bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.
Kaidah bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum Syariat Islam dalam semua urusan manusia dan muamalah didasarkan kepada maksud atau niat ketika melakukannya. Adakalanya seseorang melakukan suatu amal perbuat
B.     Saran
Kami selaku pemakalah dan sekaligus penulis kami menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah, oleh karena itu kami sangat mengaharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini agar kami bisa menjadikan saran tersebut sebagai pedoman dikesempatan mendatang. Dari makalah pembahasan ini kami dapat  menyarankan pentingnya Niat dalam segala apa yang akan kita lakukan, karena niat yang baik akan membawa jita kepada balasan yang baik pula begitu juga dengan sebaliknya.



DAFTAR PUSTAKA

Djazulu, H.A, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Zaidan, Abdul Karim, Al- Wajiz Fi syarhi al-qawa id al-fiqhiyyah fi Asy-sayri’ah al-islamiyyah, Jakarta: Al-kautsar, 2008.
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Usman, H. Muchlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.107



[1] H.A. Djazulu, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2006. hlm. 2
[3] H.A. Djazuli, Op. cit., hlm. 34
[5] Lihat.Q.S Al Nahl ayat: 26
[6] H.A. Djazuli, Op. cit., hlm. 4
[7] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 106
[8] H. Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.107
[9] Abdul Karim Zaidan, Al- Wajiz Fi syarhi al-qawa id al-fiqhiyyah fi Asy-sayri’ah al-islamiyyah, Jakarta: Al-kautsar, 2008, hlm. 8
[10] Ibid., hlm 9
[11] Lihat.Q.S Al- Bayyinah ayat: 5
[12] Lihat.Q.S Ali 'Imran ayat: 145
[13] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., hlm. 9-10
[14] Ibid.,hlm. 14-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar